Ketika industri seni sibuk dengan pemujaan pada seniman-seniman
berkelas, takjub terhadap harga selangit di balai-balai lelang terkenal,
kaum akar yang sering terpinggirkan tetap asik mencipta karya seni
dengan basis kerakyatan serta kebersamaan.
Tanbo Art adalah seni ‘melukis’ diatas kanvas raksasa, yaitu berupa sebidang sawah. Karya seni ini pertama kali muncul pada tahun 1993 di desa Inakadate, 600 mil dari Tokyo (masuk dalam Prefektur Aomori di wilayah Tohoku, Jepang).
Di tahun tersebut, penduduk Inakadate sedang
mencari cara untuk merevitalisasi desa mereka. Eksplorasi arkeologi
menyebabkan kesadaran bahwa padi telah ditanam di daerah tersebut selama
lebih dari 2000 tahun.
Untuk menghormati sejarah ini, mulailah
mereka membuat inovasi karya seni dan sawah dipilih sebagai medianya.
Guna memperoleh warna yang beraneka rupa, petani Inakadate menggunakan
empat jenis varian padi.
Proses
penciptaan Tanbo Art lumayan rumit dan penuh ketelitian. Desain gambar
dibuat awal dengan bantuan komputer sebelum diterapkan di atas “kanvas
hijau raksasa”.
Setiap bulan April, warga desa bertemu dan
memutuskan apa yang akan ditanam selama tahun berjalan. Misalnya saja,
di tahun 2007 saja ada 700 petani yang membantu dalam satu proyek Tanbo
Art. Menurut sumber Wiki, lukisan Gunung Iwaki yang sederhana menjadi
lukisan yang pertama dibuat, dan dikerjakan selama sembilan tahun.
Kini,
Tanbo Art sudah menyebar ke berbagai wilayah di Jepang dan bisa
dibilang merupakan salah satu objek wisata yang patut diperhitungkan.
Menariknya, tak seperti fenomena crop circle yang menuai sensasi soal
kedatangan Alien (meskipun ternyata hanya karya seni belaka), Tanbo Art
murni karya seni yang berakar kerakyatan. Hal ini juga menjadi bukti
bahwa kaum tani pun memiliki cita rasa seni yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar