Sabtu, 22 September 2012

Mengenal Kepribadian Seseorang

Kepribadian (syakhshiyah) manusia selalu menjadi tema yang menarik untuk diketahui, apalagi kepribadian kita sendiri. Rasa ingin tahu akan kepribadianlah yang membuat banyak orang pergi ke psikolog untuk menjalani tes-tes kepribadian. Semua itu dilakukan demi mengetahui, seperti apa sesungguhnya diri kita ini?

Usaha-usaha untuk menyusun teori dalam psikolog kepribadian telah sejak lama dilakukan orang. Hasil-hasil dari usaha tersebut ada yang masih dianggap jauh dari nilai ilmiah (masih bersifat pra-ilmiah) seperti: chirologi (ilmu gurat tangan), astrologi (ilmu perbintangan), grafologi (ilmu tulis tangan), fisiognomi (ilmu tentang wajah), phrenologi (ilmu tentang tengkorak) dan onychology (ilmu tentang kuku).

Ada juga usaha-usaha yang dianggap lebih bermutu, seperti yang dilakukan oleh Hippocrates. Ia berpendapat bahwa pada diri seseorang terdapat 4 macam cairan tubuh yang mempengaruhi karakternya: empedu kuning; empedu hitam; lender dan darah merah. Galenus lalu menyempurnakan teori Hippocrates ini. Teori Galenus ini dijabarkan kembali oleh Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus tentang khorelis, melankholis, phlegmatis dan sanguinis.

Masih banyak lagi teori-teori tentang kepribadian seperti teori tentang Edwar Spranger, Kurt Lewin, Carl Rogers, Jung, HJ Eysenck, dll. Pada tahun 2004, Taylor Hartman mencoba membedakan kepribadian manusia dengan menggunakan kode warna.

Menurut Hartman, setiap orang memiliki kepribadian dasar. Kepribadian seseorang telah terbentuk sejak nafas pertama dihembuskan di dalam kandungan. Kepribadian seseorang memang dapat berkembang tetapi tidak akan keluar dari sifat-sifat inti atau dasarnya. Kepribadian adalah ini pikiran dan perasaan di dalam diri seseorang yang memberitahu bagaimana ia membawa diri. Kepribadian merupakan daftar respon berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaan yang dipegang kuat. Kepribadian akan mengarahkan reaksi emosional seseorang di samping rasional terhadap setiap pengalaman hidup. Dengan kata lain, kepribadian adalah proses aktif di dalam setiap hati dan pikiran seseorang yang menentukan bagaimana ia merasa, berpikir dan berprilaku (Hartman, 2004).

Hartman lalu membagi tipe kepribadian menurut 4 aspek dominan di dalam alam: api, tanah, air dan udara. (wah, kebanyakan nonton film Avatar Aang nih hehe..) Atas dasar ini, ia kemudian membedakan 4 tipe kepribadian orang menurut kode warna, yaitu kepribadian merah, biru, putih dan kuning. Kepribadian merah mempresentasikan sifat-sifat api (memiliki semangat yang membara dalam kehidupan); kepribadian biru mempresentasikan sifat-sifat tanah (kuat dan teguh dalam pendirian); kepribadian putih mempresentasikan sifat-sifat dasar air (mengalir mengikuti arus); kepribadian kuning mempresentasikan sifat-sifat angin (bertiup kesana-kemari).

Avatar Aang
Kepribadian memang bersifat unik sehingga tidak ada satu orang pun yang sama persis dengan orang lain, meski terlahir kembar satu telur. Memang, ada jutaan variasi kepribadian. Namun, menurut Hartman (2004), kepribadian setiap orang dapat digolongkan menurut motif dasar, kebutuhan dan keinginan yang cenderung stabil sepanjang hayat.

Banyak cara yang orang lakukan untuk mengetahui kepribadian manusia. Selain dengan mengikuti tes-tes psikologi, banyak metode yang digunakan untuk mengetahui kepribadian. Di antaranya dengan menggunakan enneagram. Enneagram diartikan dengan sebuah "gambar bertitik sembilan". Metode ini dikabarkan telah ada sejak ratusan tahn yang lalu dan diajarkan secara lisan dalam suatu kelompok sufi di Timur Tengah hingga akhirnya mulai berkembang di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Kepribadian manusia dalam sistem enneagram terbagi menjadi 9 (sembilan) tipe. Renee Baron dan Elizabeth  Wegele, lewat buku yang berjudul Enneagram, berusaha untuk menjelaskan kesembilan tipe tersebut agar lebih mudah dimengerti.

Meluruskan Kekeliruan

Jika kita mencermati berbagai teori psikologi maupun teori kepribadian yang selama ini berkembang, baik klasik maupun medern, termasuk beberapa teori psikologi/ kepribadian di atas, kita akan menemukan sejumlah kelemahan mendasar di dalamnya. Kelemahan ini berakar pada perhaian berbagai teori tersebut yang hanya terfokus pada faktor psikis (kejiwaan) manusia, tanpa menyentuh aspek pemikirannya. Padahal pemikiranlah yang paling berpengaruh terhadap aspek psikis (kejiwaan) seseorang, sementara pemikiran sangat dipengaruhi oleh keyakinan, agama atau ideologinya.

Dalam komunitas masyarakat yang pemikirannya didominasi oleh paham/ ideologi sekurelisme, misalnya, yang menjadikan materi/ keduniawian sebagai ukuran kebahagiaan, banyak individunya yang mengalami gangguan kejiwaan, dari mulai depresi ringan hingga stress berat. Padahal mungkin tingkat kemakmuran mereka sangat tinggi. Fenomena ini, misalnya, terjadi di Eropa, Amerika atau Jepang. Jepang bahkan memiliki rekor cukup tinggi dalam hal angka bunuh diri warganya. Pelarian mereka untuk lepas dari jeratan gangguan kejiwaan ini dengan cara mengkonsumsi minuman keras, narkoba atau seks bebas ternyata sering menuai kegagalan. Sebaliknya, dalam komunitas masyarakat yang pemikirannya didominasi oleh agama/ ideologi Islam, yang menjadikan keridhaan Allah sebagai ukuran kebahagiaan, individu-individunya tidak mudah dilanda depresi, apalagi stress; meski mungkin dari segi ekonomi tak bisa dikatakan makmur/ sejahtera.



Sebagai contoh lain, fenomena menarik terjadi di Irak, terutama sejak invasi Amerika dan sekutunya. Sudah banyak dikabarkan, puluhan ribu tentara Amerika yang diterjunkan dalam kancah Perang Irak mengalami depresi hingga stress berat. Sebaliknya, tidak banyak dilaporkan para pejuang Muslim irak mengalami hal yang sama. Fenomena ini mudah dipahami dengan satu alasan: dalam berjihad melawan orang-orang kafir, pasukan Muslim biasanya berperang mencari syahadah (mati syahid) yang diyakini sebagai kewajiban paling tinggi atau puncak; sementara orang-orang kafir berperang justru demi mencari kemenangan dan takut akan kematian. Tentu gampang dibayangkan adanya perbedaan -dari aspek psikis (kejiwaan)- antara pasukan yang berperang demi mencari kematian dan pasukan yang berperang yang dibayang-bayangi rasa takut akan kematian.




Referensi:
Arif B. Iskandar, Tetralogi Dasar Islam
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (2004), Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah (Jilid 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar